Saturday, August 30, 2008

Talang Sari

BABAD TALANGSARI III
Puisi Gegeran

AMARTA adalah negeri yang gemah ripah loh jinawi, toto tentrem, karto
raharjo, maksudnya ialah negeri yang kaya raya, tenteram, dan sejahtera.
Penghuninya hidup dalam keadaan yang serba ada, segalanya mudah dan semuanya
bisa. Tentu ini hanya ada di dunia para dalang, yang sedang menggambarkan
tentang kejayaan negeri bayang-bayang, yakni, negeri yang penghuninya
mendapat jaminan dan perlindungan tidak hanya dari penguasa, tetapi juga
alam sekitarnya.

Dalam bayangan penulis, semasa kecil, gambaran para dalang itu sesungguhnya
menceritakan dunia nyata tentang jawa, orang-orangnya, suasananya, juga
kehidupannya. Negeri Amarto[a] yang digambarkan dengan setting Jawa, tiada
lain ialah Tanah Jawa, di indonesia. Gambaran yang cukup sederhana, terutama
bagi seorang yang hanya tahu tentang wayang di masa kecilnya.

Tetapi mungkin saja, Jawa dulu dan Jawa sekarang berbeda. Sebagian
penduduknya sudah banyak yang menyeberang, melanglang ke negeri orang,
mening- ga1kan Jawa yang tak lagi "gemah ripah lohjinawi, toto tentrem dan
karto raharjo". Jawa masa lalu tinggal kenangan, masa kini ditinggal orang.
.

Sukidi (40 th. ) agaknya bukan mewakili J awa masa lalu. Kini, dia telah
berada di negeri Sang Bumi Ruwa Jurai, Lampung, meninggalkan Jawa, 28 tahun
sudah, mengikuti jejak para transmigran. Cukup mapan dia, setidaknya bila
dibanding dengan kehidupan ~asa la1unya di Jawa yang semakin tak memberi
harapan. Di sini, di Dusun Talangsari III, Kec. Way Jepara, Lampung Tengah,
Sukidi cukup punya harkat, martabat dan derajat. Dia diho~ati, ma1ahan
djangkat menj~di tokoh masyarakat.
Awalnya, dengan berbekal sebongkah harapan, Sukidi melangkah dari
Banyuwangi, Jawa Timur, menuju ~ampung. Kala itu, tahun 1972, pada saat bumi
Lampung masih belum ¥epenuhan transmigian, Sukidi menepis pandangan; "makan
nggak ~akan, asal kumpul", menjadi "kumpul nggak kumpul, asal makan". Dengan
semangat bulat, ia berangkat, menuju Way Jepara di Lampung Tengah,
meninggalkan sanak kadang dan handai taulan.


Way Jepara adalah satu dari 23 Kecamatan yang a4a di Lampung Tengah. Daerah
seluas 240 km2 ini mempunyai 20 kelurahan dan: sekitar 80 ribu jiwc;1,
berdasarkan sensus tahun 1989. Dari 20 kelurahan itu, satu di antaranya
bemama Rajabasa Lama. Di Kelurahan Rajabasa lama inilah, Talangsari III,
sebuah dusun kecil itu berada. Agaknya dusun yang luasnya cuma 40 hektar ini
tak akan dikenal orang kalau saja tak terjadi gegeran antara anak manusia
yang menghebohkan itu. Talangsari juga tak bakal disebut jika tak ada
kelompok yang membadut menantang pemerintah, mencerca kebijakan dan
mengumbar kejahatan. Sulit dipercaya, tetapi ini nyata.

Babat Alas
Way Jepara saat Sukidi datang tahun 1972, tentu saja tidak sama dengan Way
Jepara masa kini. Pada saat itu, Way Jepara masih merupakan kawasan hutan
yang tak setiap jengkal tanah mampu dljamah orang. Masih banyak hutan yang
dijadikan istana hewan buruan, Untuk mengubah hutan menjadi hunian, tidak
sembarang orang boleh mengatakan gampang. Hanya orang-orang pilihan dan
tahan ujian yang mampu melakukannya.

Sukidi membabat alas Talangsari, setelah menemukan lokasi yang cocok untuk
dijadikan daerah hunian. Di suatu kawasan yang penuh dengan pohon durian,
Sukidi tertarik untuk menjadikannya tempat tinggal. Dalam bayangan Sukidi,
tempat inilah yang kelak akan menjadi daerah terbaik. Alasannya, selain
suhur, daerah tersebut memiliki unsur tanah merah dan tidak berpasir,
sebagaimana umumnya tanah di Lampung.

Orang Banyuwangi ini segera mencari tahu pemilik tanah. Dari kantor desa
diperoleh kahar, tanah pilihan Sukidi tersebut, temyata milik Amir Puspa
Mega, kepala desa Rajabasa Lama,penduduk asli yang dikenal banyak memiliki
harta peninggalan keluarga. Amir puspa segera akur dengan Sukidi yang
berminat ingin mengolah lahan perawan itu.

Bersama Sudjarwo dan Ngatidjan? teman seperjuangannya, Sukidi mulai menebang
hutan menyiapkan daerah hunian. Pohon kecil, pohon besar ditumbangkan,
belantara menjadi terang. Sepetak dijadikan pemukiman, sepetak lainnya
dijadikan lahan pertanian. Dalam sejarah Talangsari, ketiga orang inilah
yang dianggap sebagai cikal bakal lahimya sebuah perkampungan yang kelak
bemama Dusun Talangsari III.

Cihideung
Membabat alas tidaklah mudah. Hanya pekerja keras dan bermata awas .yang
bisa melakukan pekerjaan ini. tidak semua orang punya kemampuan seperti
mereka. tak cuma cerita, sudah banyak orang melakukan pekerjaan yang sama,
tetapi kandas tak membawa hasil. Cerita tentang cikal bakal Cihideung, dusun
satu agar dengan Talangsari misalnya, punya pengalaman menarik. Konon,
beberapa waktu sebelum Sukidi membabat kebon duren Talangsari, ada
sekelompok orang yang juga ingin menjadikan kawasan perawan untuk dijadikan
hunian. Tanpa sebab yang jelas, mereka meninggalkan kawasan itu setelah
sempat memberi nama Cihideung. Kabarnya, orang-orang tersebut berasal dari
daerah pasundan, Jawa Barat.

Pembukaan Cihideung kemudian dilanjutkan penduduk setempat, tetapi juga
gagal dan akhirnya ditinggal. Kurang lebih dua tahun setelah Sukidi bekerja
keras membuka kebon duren Talangsari, datang rombongan baru meneruskan
pembukaan kawasan Cihideung. Kali ini tiada aral, mereka berhasil dan
menjadikannya tempat hunian dengan nama yang sama, Cihideung. Mereka itu
ialah keluarga Jayus, yang mengaku berasal dari daerah asal Sukidi,
Banyuwangi.

Membuka hutan seperti ini sudah lazim bagi orang-orang Jawa yang datang ke
Lampung. Cara demikian dianggap paling menguntungkan kedua belah pihak.
Pemilik tanah diuntungkan karena tanah mereka menjadi punya nilai ekonomis,
bisa menjadi lahan pertanian atau lahan perkebunan dan bila dijual harganya
tidak serendah manakala masih menjadi hutan belantara.

Bagi pengolah tanah juga untung. Tanpa harus mengeluarkan uang, dia bebas
menggarap tanah seperti milik sendiri. Penggarap akan membagi hasil panen,
hanya bila tanah tersebut menghasilkan sesuatu.

Kondisi seperti itulah yang dialami Sukidi dan teman-temannya. Malah, mereka
punya kesempatan rnembeli sebagian lahan yang mereka garap itu. Amir Puspa
Mega menawarkannya dengan cara cicilan, seberapa Sukidi mampu. Dengan cara
inilah Sukidi bersama teman-temannya kini memiliki beberapa hektar tanah
impiannya. Pada kenyataannya, tanah Amir Puspa seluas kurang lebih 25
hektar, hanya tinggal 6 hektar yang belum terbeli oleh Sukidi dan
kawan-kawannya, yang kini menjadi warga Talangsari III.

Untuk bisa memiliki tanah garapan, Sukidi bersama teman-temannya membeli
dengan cara patungan. Misalnya, satu hektar seharga Rp30.000,00 dirombong
oleh 30 orang. Berarti satu orang hanya dikenakan .Rp 1000 saja. Tetapi,
tanahnya tidak langsung dibagi. Tunggu dulu, sampai bisa membeli secara agak
lebih luas agar bisa dibagi rata sesuai tabungan masing-masing yang tercatat
dalam buku Sukidi.

Tanah Amir Puspa tergolong baik. Ciri-cirinya berwarna merah kehitaman, tak
berpasir, Dibanding tanah merah, tanah berpasir lebih murah, cuma
Rp10.000,00 per hektar. Bagi Sukidi, mengeluarkan sejumlah uang untuk
membeli tanah bukan perkara gampang. Pada zaman itu, kehidupan sulit
mendera. seluruh rakyat. Orang cuma berpeluang untuk mengisi perut.

Sukidi bersama teman-temannya, pergi dari kampung ke kampung untuk menjadi
buruh cangkul di ladang- ladang penduduk agar memperoleh upah. Waktu 3 hari
untuk buruh cangkul.dan 4 hari untuk bekerja di lahan Amir Puspa. Kala
mendapat uang Rp 100,00 separuh ditabung, separuh lainnya dibelikan
macam-macam kebutuhan pokok. Misalnya, minyak tanah dan gaplek. Gaplek
itulah bahan makanan pokok mereka sehari-hari.



Makan Tiwul
Bagi Sukidi, tiwul merupakan makanan utama, sumber tenaga untuk menjalani
aktivitas kehidupannya sehari-hari. Nasi olahan dari gaplek ini mereka
namakan nasi uleng. Cara membuatnya sederhana. Gaplek kering direndam,
kemudian ditumbuk hingga menjadi tepung, lalu dijemur. Tepung gaplek ini
dimasak dengan campuran kacang-kacangan dan sedikit beras untuk menambah
rasa nikmat. Olahan bahan seperti inilah yang disebut nasi uleng.

Cara hidup seperti ini umumnya juga. ditiru oleh pengikut Sukidi lainnya.
Pada awalnya pengikut Sukidi hanya 3 orang, setelah 28 tahun, jumlah
penduduk Sukidi sudah lebih dari 100 KK.

Tukar Wilayah
Ini kisah nyata dua kelurahan, Rajabasa Lama dan Pelabuhan Ratu, saling
tukar wilayah. Alasannya? Ada satu dusun milik Rajabasa Lama, letaknya jauh
dan justru mendekat ke Pelabuhan Ratu. Sebaliknya, ada satu dusun milik
Pelabuhan Ratu, letaknya dekat ke Rajabasa Lama.
Dusun Umbul Kacang, milik Rajabasa Lama, tempatnya menjauh, sekitar 25 km
dari kelurahan induknya, lebih dekat ke Pelabuhan Ratu. Bila hendak ke Umbul
Kacang, para petugas sering melewati beberapa wilayah Pelabuhan Ratu yang
cenderung mendekat ke Desa Rajabasa Lama. Demikian halnya bagi Kelurahan
Pelabuhan Ratu yang mempunyai wilayah sangat jauh dari Kantor Desa. Wilayah
itu bemama Dusun Cihideung yang berbatasan langsung dengan Dusun Kebon Duren
Sukidi, di kelurahan Rajabasa Lama.

Akibat lokasi yang jauh, para petugas kelurahan merasa sulit jika
mengunjungi dusunnya masing-masing. Maka untuk memudahkan administrasi dan
pengawasan, pimpinan kedua kelurahan itu bersepakat tukar wilayah.
Kesepakatan tukar wilayah tersebut berlangsung pada Juli 1988. Umbul Kacang
ikut Pelabuhan Ratu dan Cihideung menjadi milik Rajabasa Lama.

Cihideung dan Kebon Duren letaknya bergandengan, bahkan berbatasan satu
pagar. Masyarakat Rajabasa Lama berunding, mereka sepakat, kedua wilayah
kecil itu digulung menjadi satu. Gabungan dua wilayah itulah yang kemudian
menjadi satu dusun bemama Talangsari III. Dengan adanya kejadian itu,
sesungguhnya Cihideung tinggal nama dan Kebon Duren tinggal cerita.



Talangsari III
Kalau saja Amir Puspa Mega, orang asli Lampung itu tidak ngotot memutuskan
sebuah nama Talangsari, untuk semua wilayah yang berada di sisi Selatan
Jalan Propinsi yang melintas di wilayahnya, mungkin wilayah itu sudah
bernama. salah satu nama daerah yang ada di Banyuwangi. Pasalnya, sangat
jarang perintis hunian baru di Lampung tidak membawa serta nama kampungnya
ke wilayah rintisan.

Oleh sebab itu, tak perlu heran bila tanah Lampung bagaikan tanah Jawa yang
dipindah, tidak hanya orang- orangnya, tetapi juga kampung halamann:ya. Di
Lampung ada Pekalongan, ada Blambangan, ada juga Sukoharjo dan Wanosobo,
malahan di Lampung Tengah ada kecamatan yang bernama Surabaya. Mungkin pada
suatu ketika akan ada dusun yang bemama Jakarta, boleh jadi.

Talangsari III, sebuah nama permintaan Amir Puspa Mega pada saat menjabat
Kepala Desa. Bagi orang
Lampung, kata talang dan umbul bukan hal baru. Ada beberapa wilayah yang
bernama umbul, misalnya Umbul Puk atau Umbul Hujan Mas di Pakuan Aji.
Mungkin masih lebih banyak lagi nama-nama serupa yang belum terdaftar.

Bila ada beberapa rumah yang mengelompok terdiri dari 5 atau 6 rumah di
peladangan, maka kelompok hunian itu disebut umbul. Dan bila beberapa umbul
itu bertambah, maka dengan sendirinya menjadi talang. Kumpulan talang itulah
yang disebut dusun, cikal bakal sebuah desa. Jadi, Talangsari III adalah
urutan dari nama Talangsari I, Talangsari II yang sudah ada jauh sebelum
Sukidi membuka kebon durian Amir Puspa Mega.

Talangsari III adalah gabungan dua dusun dari dua kelurahan yahg berbeda.
Dusun seluas lebih kurang 40 hektar itu mirip pulau kecil. la dikelilingi
sebuah kali bemama Sungai Beringin melingkari wilayah penghasil coklat
terbaik di daerah itu. Untuk mendatangi "dusun pulau" ini, dihubungkan oleh
lima jembatan yang melintas sungai selebar sekitar dua. setengah meter.
Jembatan-jembatan itulah yang dahulu dirusak oleh gerombolan Warsidi, untuk
menyiasati aparat agar terhalang datang.

Pada mulanya masing-masing punya otoritas dan kewibawaan. Penggabungan itu
baru terjadi sekitar 4 bulan sebelum huru-hara meletus. Secara administrasi
mungkin tak ada masalah. Tetapi secara sosial, tampaknya ada yang
mengganjal, terutama bagi orang-orang tertentu yang kemudian merasa
kehilangan hak martabat kewilayahan, setelah harus bergabung satu nama
menjadi Talangsari III. Apalagi di bawah komando Sukidi yang mereka kenal
sebagai orang yang biasa-biasa saja. Agaknya, masalah ini juga menjadi
pemicu, mengapa Warsidi tak menggubris ketika Sukidi meminta surat-surat
administrasi kelengkapan diri.

Namun sebagai kepala dusun, Sukidi tetap menjalankan fungsinya. Dia mulai
mendata administrasi dusun. Data penduduk, surat-surat kepemilikan tanah dan
segala kegiatan warga mulai didaftar, termasuk menyoal kehadiran Warsidi dan
kelompoknya yang belum melaporkan identitas diri kepada pamong.

Tetapi baru dua atau tiga bulan menjalankan kegiatan, Sukidi mendapat
gangguan dan perlawanan. Berbagai perilaku aneh yang tak lazim
dipertontonkan pada Sukidi. Sikap kurang bersahabat dan mengesankan
permusuhan juga diembuskan oleh Warsidi dan kelompoknya. Sukidi risih dan
sangat bersedih tatkala menyadari bahwa Warsidi semakin tak terkendali. Api
benci mulai dinyalakan. Di dalam dada mereka, hanya ada satu kalimat,.
sumpah serapah dan caci maki yang jauh dari berserah diri.
(http://www.freelists.org/cgi-bin/list?list_id=untirtanet)

No comments: