Saturday, August 30, 2008

Kisah Lam Tim

Guntur Subing

Masyarakat Adat Rajabasa Lama, Lampung Timur

Lampung Timur sebagai kabupaten yang dapat dikatakan baru di provinsi ini menyimpan banyak kisah. Kisah-kisah kriminal yang menghiasi media massa dan elektronik tentang Lampung Timur memberikan kesan buruk tentang Lampung Timur.

Dalam waktu lima tahun terakhir ini, Lampung Timur memang nyaris tidak terlihat pembangunannya dan mungkin dapat dikatakan berjalan lambat jika dibanding dengan pembangunan yang berjalan pesat di kabupaten lain.

Kondisi Lampung Timur seperti kota mati jika dibanding dengan beberapa tahun lalu. Ini penulis saksikan dari arus lalu lintas terutama yang mengangkut penumpang menuju Terminal Rajabasa. Dahulu mau berangkat jam berapa pun dari daerah Lampung Timur dapat dengan mudah didapati bus menuju Rajabasa sehingga penumpang tidak dipusingkan dengan jalur yang terputus-putus.

Sekarang, jika ingin melakukan perjalanan dari Way Jepara--Rajabasa Lama--Sukadana menuju Terminal Rajabasa, penumpang harus berebut naik bus pukul 07.00--08.00. Untuk menaiki mobil jenis minibus dan jumlahnya pun satu sampai dua buah, harus menunggu kembali satu buah bus DAMRI yang sesak dan berdiri. Setelah itu, jangan harap ada kendaraan penumpang yang langsung menuju Terminal Rajabasa.

Penumpang harus naik angkot dan sedikit bus yang hanya mengangkut sampai Metro dengan biaya mahal dan hampir mendekati ongkos perjalanan langsung ke Rajabasa, kemudian membayar kembali biaya perjalanan dari Metro--Rajabasa.

Begitu juga sebaliknya, perjalananan dari Terminal Rajabasa melalui jalur Metro--Sukadana--Rajabasa Lama--Way Jepara hanya mengandalkan 1 sampai dua mobil mini bus pukul 09.00--10.00 dan satu buah bus DAMRI pukul 15.30, setelah itu bersiap-siaplah untuk kecele dan menghabiskan biaya banyak atau menunda perjalanan sampai besok jika tidak tepat waktu hadir pada jam-jam tersebut.

Kondisi tersebut tentu jauh berbeda jika dibanding dengan perjalanan menuju kabupaten/kota lain yang ada di Provinsi Lampung. Yang dapat ditemukan setiap saat, baik bus AC maupun non-AC. Dan kenyamanan untuk menaiki bus penumpang tersebut dapat dirasakan dengan baik karena pelayanan yang baik dengan persaingan antarkendaraan angkutan yang begitu ramai sehingga mengutamakan pelayanan dalam prakteknya.

Kondisi tersebut adalah salah satu akibat kebrutalan oknum pada masa lalu yang kini menghilang entah ke mana. Yang merasakan tindakan mereka adalah mereka orang baik-baik atau mereka yang sedang mengenyam pendidikan di luar kota. Hal itu sangat dirasakan terutama pada saat-saat yang mendesak.

Fenomena di atas tidak berlaku bagi mereka yang ingin melakukan perjalanan dari Lampung Timur menuju Rawa Jitu dan mereka juga yang mengambil jalur berbeda, yakni Way Jepara--Sribhawono--Rajabasa. Daerah ini dapat dikatakan lebih nyaman dan pelayanan yang memuaskan dibanding dengan melewati ibu kota kabupaten yang seperti kota mati.

***

Moda transportasi sebagai salah satu instrumen membangun kegiatan ekonomi jika tidak diperhatikan dengan baik akan memberikan kelambatan jalur ekonomi yang ada sehingga mengakibatkan pula lambatnya pembangunan. Begitu megahnya jalan lintas timur tidak berguna dan tidak dapat dimanfaatkan optimal akibat kurangnya perhatian pemerintah pada fenomena masyarakat di bawahnya.

Sebagai daerah agraris, Lampung Timur seperti kehilangan arah untuk membangun daerahnya. Agraria sebagai basis penghidupan masyarakat dapat dikatakan tidak berkembang dengan baik, pendampingan terhadap petani lokal dengan kebijakan pengembangan pertanian lokal, kini seperti tidak terurus dengan gonta-ganti bentuk pertanian dan perkebunan yang tidak pasti.

Tahun ini mereka menanam kakao, tahun depan menanam kembali lada, belum selesai tahun depannya lagi di tanam singkong, jagung, dan tidak jelas mana yang harus menjadi tanaman inti masyarakat. Intinya yang harus dilakukan adalah bagaimana menjadikan Lampung Timur sebagai lumbung mengembangkan budi daya pertanian dan perkebunan yang berjangka panjang sehingga petani memiliki tingkat kepastian dalam bercocok tanam.

Perilaku masyarakat yang susah berkembang sama halnya dengan susahnya mengembangkan Sukadana sebagai ibu kota pemerintahan dan sebagai pusat perdagangan. Dengan merekayasa pembangunan terminal, Sukadana dan Mataram Baru, dan pembangunan ruko di Pasar Sukadana tidak juga menggiurkan minat para investor berinvestasi di Sukadana.

Sebagai kota yang dikenal rawan akan tindak kekerasan, Sukadana sulit bangkit dari kesepiannya dan sangat jauh jika dibanding dengan Way Jepara dan Sribhawono. Banyak persepsi yang menyalahkan masyarakat sekitar kota tersebut sebagai sumber mandeknya perkembangan Sukadana.

Sebagai kota tua, setidaknya Sukadana banyak makan asam garam tentang bagaimana menarik minat, tapi potensi tersebut tidak mampu untuk diangkat menjadi kekuatan tumpu masyarakatnya. Sebagai pusat pemerintahan, seharusnya Sukadana tidak ketinggalan dengan daerah lain. Sukadana tidak ubahnya seperti Kotaagung yang ditinggalkan Gisting, Talang Padang, dan Pringsewu.

Selain itu objek pariwisata yang selalu didengungkan kini seperti menara gading yang telah runtuh. Taman Nasional Way Kambas misalnya seperti tidak mau memperbaiki diri walaupun ia menjadi ikon dari Lampung Timur.

Nama besar Taman Nasional Way Kambas tidak sebanding dengan keadaan yang melingkupinya. Orang-orang akan kecewa jika menyaksikan TNWK hanya itu-itu, tidak ada inovasi yang berarti di dalamnya.

Selain masalah di atas, ada masalah lain tentang image, jatidiri, dan frame masyarakat tentang Jabung. Jabung identik dengan begal dan tampaknya bangga dengan image seperti itu. Padahal, bagi kami yang mengenyam pendidikan di luar Lampung Timur, kisah tersebut memberikan kisah mendalam tentang kehati-hatian teman-teman kami ketika bergaul dengan mereka. Ada kesan bahwa kami bukan orang-orang yang dapat dipercaya karena mudahnya menggeneralisasi frame Lampung Timur dengan potensi kejahatan yang dimiliki.

Kejahatan bukanlah kebanggaan yang harus ditonjolkan kepada semua pihak. Kejahatan adalah sumber dari segala kemelaratan.

Susahnya moda transportasi di Lampung Timur adalah akibat dari tidak berpikir jangka panjang para sopir dan kondektur yang berkolusi dengan copet dan pembajak mobil. Kondektur yang dengan semaunya menarik ongkos yang mahal kepada penumpang memberikan efek jera bagi masyarakat yang notabene pelanggan mereka. Seharusnya mereka berupaya agar pelanggan tetap setia dan menikmati pelayanan yang diberikan selama perjalanannya.

Pembangunanan pelabuhan di Labuhan Maringgai dan pembangunan lintas timur yang tersendat-sendat makin memberikan warna bagi Lampung Timur. Entah harus dengan apa dan dengan kata apa untuk mengatakan Lampung Timur sebagai daerah yang potensial. Jika suguhan yang diberikan oleh kenyataan sepertinya sulit mengatakan dengan kata-kata yang baik.

Setidaknya Lampung Timur membutuhkan seorang pemimpin yang mampu mengakomodasi semua pihak dan berkonsentrasi dengan pembangunan, baik fisik, mental maupun spiritual. Sekarang inilah pembuktian seorang pemimpin yang mampu memberikan harapan bagi masyarakatnya karena kita memulai dari sesuatu yang berantakan dan membutuhkan perapihan. Bukan dari sesuatu yang baik dan hanya mengembangkan.



No comments: